NAMA :
DIAN HARRISTIANINGSIH
NPM :
22213366
KELAS :
2EB16
CONTOH KASUS PELAYANAN KONSUMEN
Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi
kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak
untuk diperdagangkan.
Kelemahan konsumen
adalah tidak mengetahui secara langsung barang yang akan dibelinya. Untuk
melindungi konsumen dari kecurangan para produsen UUD mengeluarkan tentang
perlindungan konsumen yaitu pasal UUD N0. 8 tahun 1999. Asas dari perlindungan
konsumen ini memperoleh manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan
keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Konsumen juga
mempunyai hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Hak-hak
konsumen yaitu :
1.
Hak kenyamanan dan hak keselamatan
2.
Hak untuk memilih barang atau jasa
3.
Hak atas informasi yang benar dan jujur
4.
Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya
5.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen
6.
Hak untuk diperlakukan dengan benar,
jujur, dan diskriminatif
7.
Hak untuk mendapatkan kompensasi dan
penggantian
Pengertian kualitas
pelayanan menurut J.Supranto (2006:226) adalah sebuah kata yang bagi penyedia
jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik.
Sedangkan definisi pelayanan menurut Gronroos adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen / pelanggan (Ratminto, 2005:2).
Sedangkan definisi pelayanan menurut Gronroos adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen / pelanggan (Ratminto, 2005:2).
Pelayanan pelanggan
ini sangat penting artinya bagi kehidupan suatu perusahaan, karena tanpa
pelanggan, maka tidak akan terjadi transaksi jual beli diantara keduanya. Untuk
itu kegiatan pelayanan perusahaan haruslah berorientasi pada kepuasan
pelanggan.
Kepuasan pelanggan
dalam praktek tidak cukup hanya dengan terpenuhinya kepuasan pribadi untuk
melayani konsumen yang bersangkutan tetapi juga harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1.
Pelanggan adalah orang paling penting
2.
Pelanggan adalah objek yang dapat
memberikan keuntungan bagi perusahaan
3.
Pelanggan bukanlah lawan bicara yang
perlu diajak berdebat, bila terpaksa, maka pihak yang menang
haruslah pihak pelanggan
4.
Pelanggan adalah raja, sekali ia kalah
dalam berargumentasi maka ia akan pindah ke produk lain
5.
Pelanggan adalah manusia biasa yang
memiliki perasaan senang, benci, bosan, dan adakalanya mempunyai prasangka yang
tidak beralasan
6.
Pelanggan dalam usaha mendapatkan
pelayanan selalu ingin didahulukan, diperhatikan, dan ingin diistimewakan serta
tidak ingin diremehkan begitu saja
Tujuan dan Fungsi Pelayanan
1.
Kualitas pelayanan diberikan kepada
konsumen harus berfungsi untuk lebih memberikan kepuasan yang maksimal, oleh
karena itu dalam rangka memberikan pelayanan harus dilakukan sesuai dengan
fungsi pelayanan.
2.
Kualitas pelayanan yang diberikan oleh
setiap perusahaan tentunya mempunyai tujuan. Umumnya tujuan dengan diadakannya
pelayanan adalah agar konsumen merasakan adanya kepuasan dan dampaknya bagi
perusahaan akan memperoleh laba maksimum.
Dimensi Kualitas
Pelayanan
Dimensi Kualitas
Pelayanan (SERVQUAL) oleh Parasuraman (1998) dibagi menjadi lima dimensi
SERVQUAL diantaranya adalah (Lupiyoadi, 2001:148):
1.
Tangibles (bukti fisik) yaitu kemampuan
suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal.
Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan
lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh
pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain
sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta
penampilan pegawainya.
2.
Reliability (kehandalan) yaitu kemampuan
perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti
ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan,
sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3.
Responsiveness (ketanggapan) yaitu
kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan
tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
4.
Assurance (jaminan dan kepastian) yaitu
pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk
menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari
beberapa komponen antara lain komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi,
dan sopan santun.
5.
Emphaty (empati) yaitu memberikan
perhatian yang tulus dan brsifat individual atau pribadi yang diberikan kepada
para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu
perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan,
memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu untuk
pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
CONTOH
KASUS :
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai
Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut
digugat oleh seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang
tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan
gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi
terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke
Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas
waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID
mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek
kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air bolak-balik mendapat komplain dari penumpang. Bahkan tidak sedikit komplain ini masuk hingga ke pengadilan.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air bolak-balik mendapat komplain dari penumpang. Bahkan tidak sedikit komplain ini masuk hingga ke pengadilan.
Dalam catatan detikcom, Selasa (4/9/2012), perusahaan berlogo kepala singa
ini pernah digugat Rp 10 miliar oleh pengusaha De Neve Mizan Allan. Pengusaha
di bidang otomotif ini menuduh Lion Air telah melakukan refund tiket pesawat
miliknya tanpa persetujuannya.
Tidak terima, lalu Lion Air menggugat balik penumpang tersebut. Lion Air
menuding penggugat sebagai penyebab keterlambatan penerbangan dari Bandara
Ngurah Rai menuju Soekarno-Hatta. Lion Air menuntut penggugat membayar biaya
avtur selama 20 menit sebesar Rp 11,6 juta, pemeliharaan pesawat sebesar US$
36,6 dan menuntut ganti rugi gaji pilot senilai US$ 73,3 dan biaya extend
bandara Rp 1 juta.
Analisa Kasus di atas
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana
ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan
hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk
Hukum Pidana Ekonomi dalam arti luas, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana
Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum
Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Hukum
tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian
dan kemakmuran rakyat. Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana
ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti
sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud
dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi
yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang dimaksud
dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang
bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang
mengatur tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak
Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan
secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan
konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana
ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara intigrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara intigrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari
perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah
Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan
ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah
konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer. Asas
yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5
asas utama yakni :
1.
Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas Keadilan; partisipasi seluruh
rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
3.
Asas Keseimbangan; memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual.
4.
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen;
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5.
Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha
maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Perlindungan
konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan
untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab
dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan dan keselamatan konsumen. Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana
dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal
61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat
penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian
melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum
Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan
yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan
Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan
Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak
mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium. Yang dimaksud dengan Klausula baku
adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan
tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan
berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
a.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha.
b.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
c.
Setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat dinyatakan batal demi
hukum.
d.
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula
baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Selanjutnya berdasarkan
penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan
adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku
usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Selain itu khusus mengenai
penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan
tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam
kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat
klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang
ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk
segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”.
Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula
baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak
oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam
hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya
klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen. Penyedia jasa
dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik
yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik
Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang
penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum
perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku
dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum berjalan dengan
efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih
marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai
sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap
tindakan pencantuman klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya
merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan
diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman
dan sosialisasi. Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat
ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan
Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian
telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang
No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir
itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.