Kamis, 18 Juni 2015

KASUS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

Sengketa tersebut bisa diselesaikan dengan 3 cara yaitu; mediasi, arbitrase, dan negosiasi
Mediasi, adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan di antara para pihak dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut Mediator, dengan tujuan tercapainya kesepakatan damai dari pihak bersengketa. Berbeda dengan hakim dan Arbiter, Mediator hanya bertindak sebagai fasilitator pertemuan dan tidak memberikan keputusan atas sengketa – para pihak sendiri yang memegang kendali dan menentukan hasil akhirnya, apakah akan berhasil mencapai perdamaian atau tidak.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 30 tahun 1999, Arbitrasi merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa dengan cara menyerahkan kewenangan kepada pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut Arbiter, untuk memeriksa dan mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir. Arbitrase mirip dengan pengadilan, dan Arbiter mirip dengan hakim pada proses pengadilan
Negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan. Perbedaan kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untukmencapai suatu kesepakatan. Perbedaan kepentingan memberikan alasan terjadinya suatu titik temu dan dasar motivasi untuk mencapai kesepajatan baru.
                                                   



CONTOH KASUS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAN DI INDONESIA

Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).
Sumber Hukum Ekonomi Syariah:
1.      Sumber Hukum Acara :
a.       Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b.      HIR untuk wilayah jawa dan Madura
c.       RBG untuk wilayah luar jawa dan Madura
d.      BW dalam Buku IV tentang pembuktian pasal 1865-pasal 1993
e.       WvK dalam staablat 1847 no 23

2.      Sumber Hukum Materiil Ekonomi Syariah:
a.       Nash Al Quran
b.      Nash Al Hadist
c.       Peraturan Perundang-undangan
d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional
e.       Akad perjanjaian ( Kontrak )
f.       Adat Kebiasaan
g.      Yurisprudensi.


A.    Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Pengadilan Agama
Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan  terhadap Pasal-pasal dalam UUD 45. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan  kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan  Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap di Mahkamah Agung. Perubahan UUD 45 mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan  dengan UUD 45. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 3 dengan UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 14  Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi  dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan UU tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan TUN dan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7  Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta UU Peradilan Militer.
Perluasan Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam. Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU  No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal  ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku  kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu   sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.  
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini. Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a.       Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
b.      Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
c.       Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas,

Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam”Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1)      Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2)      Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun

Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang : 
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c.       Wakaf dan shadaqoh

Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam  menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik  dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas ruang  lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama Yaitu :
1.      Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan
c.       Wasiat
d.      Hibah
e.       Wakaf
f.       Zakat
g.      Shadaqah
h.      Infaq, dan
i.        Ekonomi syari’ah

Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :
a.       Bank syari’ah
b.      Asuransi syari’ah
c.       Reasuransi syari’ah
d.      Reksadana syari’ah
e.       Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
f.       Sekuritas syari’ah
g.      Pembiayaan syari’ah
h.      Pegadaian syari’ah
i.        Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
j.        Bisnis syari’ah, dan
k.      Lembaga keuangan mikro syari’ah

2.      Diberikan tugas dan wewenag penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49. Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau  mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan aadanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama
Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No.3 Tahun 2006 dapat dimakanai sebagai politik hkum ekonomi syariah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama.Dalam hal ini Peradilan agama memiliki kewenagan untuk menyelesikan sengketa ekonomi syariah  secara ligitasi atau peradilan formal.Amandemen tidak hanya memperluas kewenagan ,tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja ,tetapi meliputi lembaga keuangan mikro syariah,asuransi syariah,reasuransi syariah,reksadana syariah,obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah menengah syariah,sekuritas syariah,pembiayaan syariah,pegadaian syariah,dana pensiun lembaga keuangan syariah.
Dengan di syahkannya Kompilasi Hukum ekonomi syariah dengan Peraturan Mahkamah Agung  ( PERMA ) No.2 Tahun 2008 dan di Undangkannya  UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 juli 2008 mendapat perhatian dari masyarakat pencari keadilan berkaitan dari persoalan ekonomi syariah yang di cantumkan dalam undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa Perbankan syariah.Pasal 55 UU No.21 tahun 2008 menyatakan :
a)      Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
b)      Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ),penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
c)      Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

Ketentuan pasal 55 ayat ( 1 ) tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal 49 huruf I Undang-undang No.3 tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan Pengadilan agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk perbankan syariah.Penjelasan pasal 55 ayat ( 2 ) menyatakan : yang di maksud  dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad ‘adanya upaya sebagai berikut :
a.       Musyawarah
b.      Mediasi
c.       Melalui Badan Arbitrase syariah Nasional ( Basyarnas ) atau Lembaga arbitrase lain; dan /atau
d.      Melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum.

Tahap-tahap pemeriksaan dalam persidangan
Tingkat Pertama
1.      Gugatan/Permohonan
2.      Jawaban/Rekonpensi
3.      Replik/jawaban Rekonpensi
4.      Duplik/Replik Rekonpensi
5.      Duplik Rekonpensi
6.      Pembuktian
7.      Kesimpulan
8.      Putusan
9.      Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum banding dari yang dikalahkan).

Tingkat kedua (Banding)
1.      Memori Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya
2.      Kontra Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya
3.      Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum Kasasi dari yang dikalahkan)

Tingkat Kasasi
1.      Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya
2.      Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon
3.      Kasasi/kuasanya.
4.      Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi. 

KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, sampailah pada beberapa kesimpulan sesbagai berikut :
 Penyelesaian sengketa Ekonomi syariah seharusnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.Penyelesaian sengketa   Ekonomi Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

SUMBER       :



KASUS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

Sengketa tersebut bisa diselesaikan dengan 3 cara yaitu; mediasi, arbitrase, dan negosiasi
Mediasi, adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan di antara para pihak dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut Mediator, dengan tujuan tercapainya kesepakatan damai dari pihak bersengketa. Berbeda dengan hakim dan Arbiter, Mediator hanya bertindak sebagai fasilitator pertemuan dan tidak memberikan keputusan atas sengketa – para pihak sendiri yang memegang kendali dan menentukan hasil akhirnya, apakah akan berhasil mencapai perdamaian atau tidak.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 30 tahun 1999, Arbitrasi merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa dengan cara menyerahkan kewenangan kepada pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut Arbiter, untuk memeriksa dan mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir. Arbitrase mirip dengan pengadilan, dan Arbiter mirip dengan hakim pada proses pengadilan
Negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan. Perbedaan kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untukmencapai suatu kesepakatan. Perbedaan kepentingan memberikan alasan terjadinya suatu titik temu dan dasar motivasi untuk mencapai kesepajatan baru.
                                                   



CONTOH KASUS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAN DI INDONESIA

Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).
Sumber Hukum Ekonomi Syariah:
1.      Sumber Hukum Acara :
a.       Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b.      HIR untuk wilayah jawa dan Madura
c.       RBG untuk wilayah luar jawa dan Madura
d.      BW dalam Buku IV tentang pembuktian pasal 1865-pasal 1993
e.       WvK dalam staablat 1847 no 23

2.      Sumber Hukum Materiil Ekonomi Syariah:
a.       Nash Al Quran
b.      Nash Al Hadist
c.       Peraturan Perundang-undangan
d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional
e.       Akad perjanjaian ( Kontrak )
f.       Adat Kebiasaan
g.      Yurisprudensi.


A.    Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Pengadilan Agama
Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan  terhadap Pasal-pasal dalam UUD 45. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan  kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan  Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap di Mahkamah Agung. Perubahan UUD 45 mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan  dengan UUD 45. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 3 dengan UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 14  Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi  dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan UU tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan TUN dan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7  Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta UU Peradilan Militer.
Perluasan Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam. Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU  No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal  ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku  kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu   sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.  
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini. Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a.       Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
b.      Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
c.       Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas,

Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam”Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1)      Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2)      Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun

Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang : 
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c.       Wakaf dan shadaqoh

Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam  menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik  dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas ruang  lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama Yaitu :
1.      Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan
c.       Wasiat
d.      Hibah
e.       Wakaf
f.       Zakat
g.      Shadaqah
h.      Infaq, dan
i.        Ekonomi syari’ah

Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :
a.       Bank syari’ah
b.      Asuransi syari’ah
c.       Reasuransi syari’ah
d.      Reksadana syari’ah
e.       Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
f.       Sekuritas syari’ah
g.      Pembiayaan syari’ah
h.      Pegadaian syari’ah
i.        Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
j.        Bisnis syari’ah, dan
k.      Lembaga keuangan mikro syari’ah

2.      Diberikan tugas dan wewenag penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49. Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau  mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan aadanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama
Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No.3 Tahun 2006 dapat dimakanai sebagai politik hkum ekonomi syariah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama.Dalam hal ini Peradilan agama memiliki kewenagan untuk menyelesikan sengketa ekonomi syariah  secara ligitasi atau peradilan formal.Amandemen tidak hanya memperluas kewenagan ,tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja ,tetapi meliputi lembaga keuangan mikro syariah,asuransi syariah,reasuransi syariah,reksadana syariah,obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah menengah syariah,sekuritas syariah,pembiayaan syariah,pegadaian syariah,dana pensiun lembaga keuangan syariah.
Dengan di syahkannya Kompilasi Hukum ekonomi syariah dengan Peraturan Mahkamah Agung  ( PERMA ) No.2 Tahun 2008 dan di Undangkannya  UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 juli 2008 mendapat perhatian dari masyarakat pencari keadilan berkaitan dari persoalan ekonomi syariah yang di cantumkan dalam undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa Perbankan syariah.Pasal 55 UU No.21 tahun 2008 menyatakan :
a)      Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
b)      Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ),penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
c)      Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

Ketentuan pasal 55 ayat ( 1 ) tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal 49 huruf I Undang-undang No.3 tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan Pengadilan agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk perbankan syariah.Penjelasan pasal 55 ayat ( 2 ) menyatakan : yang di maksud  dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad ‘adanya upaya sebagai berikut :
a.       Musyawarah
b.      Mediasi
c.       Melalui Badan Arbitrase syariah Nasional ( Basyarnas ) atau Lembaga arbitrase lain; dan /atau
d.      Melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum.

Tahap-tahap pemeriksaan dalam persidangan
Tingkat Pertama
1.      Gugatan/Permohonan
2.      Jawaban/Rekonpensi
3.      Replik/jawaban Rekonpensi
4.      Duplik/Replik Rekonpensi
5.      Duplik Rekonpensi
6.      Pembuktian
7.      Kesimpulan
8.      Putusan
9.      Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum banding dari yang dikalahkan).

Tingkat kedua (Banding)
1.      Memori Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya
2.      Kontra Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya
3.      Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum Kasasi dari yang dikalahkan)

Tingkat Kasasi
1.      Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya
2.      Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon
3.      Kasasi/kuasanya.
4.      Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi. 

KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, sampailah pada beberapa kesimpulan sesbagai berikut :
 Penyelesaian sengketa Ekonomi syariah seharusnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.Penyelesaian sengketa   Ekonomi Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

SUMBER       :