Sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang
dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum
bagi salah satu diantara keduanya.
Sengketa tersebut bisa diselesaikan dengan 3 cara yaitu;
mediasi, arbitrase, dan negosiasi
Mediasi, adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan di antara
para pihak dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut
Mediator, dengan tujuan tercapainya kesepakatan damai dari pihak bersengketa.
Berbeda dengan hakim dan Arbiter, Mediator hanya bertindak sebagai fasilitator
pertemuan dan tidak memberikan keputusan atas sengketa – para pihak sendiri
yang memegang kendali dan menentukan hasil akhirnya, apakah akan berhasil
mencapai perdamaian atau tidak.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 30 tahun 1999, Arbitrasi merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peadilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa dengan cara menyerahkan kewenangan
kepada pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut Arbiter, untuk
memeriksa dan mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir. Arbitrase
mirip dengan pengadilan, dan Arbiter mirip dengan hakim pada proses pengadilan
Negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai
kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai
suatu kesepakatan. Perbedaan kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu
dan berbicara untukmencapai suatu kesepakatan. Perbedaan kepentingan memberikan
alasan terjadinya suatu titik temu dan dasar motivasi untuk mencapai
kesepajatan baru.
CONTOH KASUS PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI SYARIAN DI INDONESIA
Pada
prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial
Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24
UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang
berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas
menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya
badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak
dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta
bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun
berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun
1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan
menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase
atau perdamaian (islah).
Sumber Hukum Ekonomi Syariah:
1. Sumber
Hukum Acara :
a.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b.
HIR untuk wilayah jawa dan Madura
c.
RBG untuk wilayah luar jawa dan Madura
d.
BW dalam Buku IV tentang pembuktian pasal
1865-pasal 1993
e.
WvK dalam staablat 1847 no 23
2. Sumber
Hukum Materiil Ekonomi Syariah:
a.
Nash Al Quran
b.
Nash Al Hadist
c.
Peraturan Perundang-undangan
d.
Fatwa Dewan Syariah Nasional
e.
Akad perjanjaian ( Kontrak )
f.
Adat Kebiasaan
g.
Yurisprudensi.
A.
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Pengadilan Agama
Dalam
era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap
Pasal-pasal dalam UUD 45. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat
(2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan
Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara dan sebuah Mahkamah
Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga
peradilan di bawah satu atap di Mahkamah Agung. Perubahan UUD 45 mengharuskan
adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan
dengan UUD 45. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 3 dengan UU No. 35 Tahun 1999
Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan
UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 13 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi,
administrasi dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang
sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat
(1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 diatur dengan UU tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU
No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan UU
No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan TUN dan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta UU
Peradilan Militer.
Perluasan
Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Pengadilan Agama merupakan salah satu
kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA
“Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama
dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam. Setelah UU No. 7
tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut
juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup
kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan
tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “
Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.
Dalam
penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara
orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang
dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini. Dari
penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah
dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam
pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun sengketa di bidang
ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a. Sengketa
di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah dengan nasabahnya;
b. Sengketa
di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah;
c. Sengketa
di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana
akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan
adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah Selain dalam hal kewenangan
sebagaimana diuraikan di atas,
Pasal
49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan
mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian
berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan
hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum
dalam”Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini
dimaksudkan untuk:
1) Memberi
dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas
undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2) Untuk
memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di
bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam
bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf
dan shadaqoh
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia,
khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah
tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah,
pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga
berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama
ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui
peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006
atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas
ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama Yaitu :
1. Memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang :
a.
Perkawinan
b.
Kewarisan
c.
Wasiat
d.
Hibah
e.
Wakaf
f.
Zakat
g.
Shadaqah
h.
Infaq, dan
i.
Ekonomi syari’ah
Dalam penjelasan pasal 49
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :
a. Bank
syari’ah
b. Asuransi
syari’ah
c. Reasuransi
syari’ah
d. Reksadana
syari’ah
e. Obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
f. Sekuritas
syari’ah
g. Pembiayaan
syari’ah
h. Pegadaian
syari’ah
i.
Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
j.
Bisnis syari’ah, dan
k. Lembaga
keuangan mikro syari’ah
2. Diberikan
tugas dan wewenag penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam
pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa
mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa
tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal
50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal
terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2)
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa
tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49. Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan
Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu
penyelesaian sengketa karena alasan aadanya sengketa hak milik atau keperdataan
lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan
adanya gugatan di Peradilan Agama
Pasca
amandemen UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No.3 Tahun
2006 dapat dimakanai sebagai politik hkum ekonomi syariah dengan cara
memperluas kewenangan Pengadilan Agama.Dalam hal ini Peradilan agama memiliki
kewenagan untuk menyelesikan sengketa ekonomi syariah secara ligitasi
atau peradilan formal.Amandemen tidak hanya memperluas kewenagan ,tetapi juga
memberikan ruang lingkup yang jelas tentang sengketa ekonomi tidak hanya
sebatas masalah perbankan saja ,tetapi meliputi lembaga keuangan mikro
syariah,asuransi syariah,reasuransi syariah,reksadana syariah,obligasi syariah
dan surat berharga berjangka menengah menengah syariah,sekuritas
syariah,pembiayaan syariah,pegadaian syariah,dana pensiun lembaga keuangan
syariah.
Dengan
di syahkannya Kompilasi Hukum ekonomi syariah dengan Peraturan Mahkamah
Agung ( PERMA ) No.2 Tahun 2008 dan di Undangkannya UU No. 21 Tahun
2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 juli 2008 mendapat perhatian
dari masyarakat pencari keadilan berkaitan dari persoalan ekonomi syariah yang
di cantumkan dalam undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah
adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa Perbankan syariah.Pasal 55 UU
No.21 tahun 2008 menyatakan :
a) Penyelesaian
sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama.
b) Dalam
hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ),penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
c) Penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah.
Ketentuan pasal 55 ayat ( 1 ) tersebut di atas adalah
sejalan dengan pasal 49 huruf I Undang-undang No.3 tahun 2006 yang menyebutkan
kewenangan Pengadilan agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk
perbankan syariah.Penjelasan pasal 55 ayat ( 2 ) menyatakan : yang di
maksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad ‘adanya
upaya sebagai berikut :
a. Musyawarah
b. Mediasi
c. Melalui
Badan Arbitrase syariah Nasional ( Basyarnas ) atau Lembaga arbitrase lain; dan
/atau
d. Melalui
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum.
Tahap-tahap pemeriksaan
dalam persidangan
Tingkat Pertama
1. Gugatan/Permohonan
2. Jawaban/Rekonpensi
3. Replik/jawaban
Rekonpensi
4. Duplik/Replik
Rekonpensi
5. Duplik
Rekonpensi
6. Pembuktian
7. Kesimpulan
8. Putusan
9. Eksekusi
(jika tidak ada upaya hokum banding dari yang dikalahkan).
Tingkat kedua (Banding)
1. Memori
Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya
2. Kontra
Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya
3. Eksekusi
(jika tidak ada upaya hokum Kasasi dari yang dikalahkan)
Tingkat Kasasi
1. Memori
Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya
2. Kontra
Memori Kasasi yang dibuat Termohon
3. Kasasi/kuasanya.
4. Eksekusi
dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi.
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di
atas, sampailah pada beberapa kesimpulan sesbagai berikut :
Penyelesaian sengketa Ekonomi syariah
seharusnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.Dalam hal
para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.Penyelesaian
sengketa Ekonomi Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah.
SUMBER :