Sabtu, 03 Mei 2014

Berbagai Aspek Yang Timbul Akibat Ketahanan Pangan


Topik         :        Ketahan Pangan Nasional



BAB I
PENDAHULUAN

1.1             LATAR BELAKANG
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dakam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politil dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat ini dan masa mendatang.
  1. Ketahanan pangan sendiri menurut literatur memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi diantaranya : Berorientasi pada rumah tangga dan individu, 
  2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses,
  3. Menekankan pada akses pangan tumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial,
  4. Berorientasi pada pemenuhan gizi,
  5. Ditujukan untuk sehat dan produktif.
Salah satu target yang akan dicapai kementrian pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan melakukan swasembada beras. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 241 juta jiwa. Pada tahun 2011, data BPS menunjukan bahwa tingkat komsumsi beras mencapai 139kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65kg/kapita pertahun. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan meski roda energi diversifikasi komsumsi sudah lama digulirkan, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 komsumsi beras nasional sebagai sumber karbihidrat baru sekitar 53% bandingkan dengan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar 95%. Dalam rencana strategis Kementrian Pertanian menempatkan beras sebagai satu dari lima komoditas pangan utama. Kmentrian Pertanian menargetkan pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan atas tanaman pangan pada tahun 2010-2014 yakni padi,jagung,kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar karena padi sudah pada posisi swasembada mulai 2007, maka target pencapaian selama 2010-1013 adalah swasembada berkelanjutan dengan sasaran produksii padi sebesar 75,7 juta ton Gabah Kering Giling.
Terkait dengan swasembada beras capaian produksi komoditas pertanian selama tahun 2005-2009 telah menunjukan prestasi sangat baik, antara lain: peningkatan produksi padi dari 57,16 juta ton tahun 2007 menjadi 60,33 juta ton pada tahun 2008, atau meningkat 3,69 %, sehingga terjadi surplus 3,17 juta ton GKG, dan mendorong beberapa perusahaan untuk mengekspor beras kelas premium. Target produksi padi 2009 sebesar 63,5 juta ton, sementara berdasarkan ARAM III (Juni 2009) produksi padi telah mencapai 63,8 juta ton atau mencapai 100,5 % dari target tahun 2009. Peningkatan produksi ini telah menempatkan Indonesia meraih kembali statusswasembada beras sejak tahun 2007. Pada tahun 2011, APBN untuk Kementerian Pertanian ditetapkan sebanyak Rp17,6 triliun naik cukup signifikan dibanding pada tahun 2009 sebesar Rp8,2 triliun.Jumlah itu, menurut Menteri Pertanian Suswono, belum berdampak pada peningkatan produktivitas.
Hal tersebut dikarenakan periode 2010-2014 ini sektor pertanian bergerak stagnan. Pertumbuhan produksi pangan pokok masyarakat Indonesia ini tak lebih dari 3%. Produksi tanaman pangan padi lebih rendah dari target yang ditetapkan yakni hanya mencapai 65,39 juta ton GKG di banding yang ditargetkan yakni sebanyak 70,06 juta ton GKG. Kinerja Kementrian Pertanian terkait dengan pelaksanaan program Ketahanan Pangan dipertanyakan selama tahun 2011, dimana pada semester 1. Prof Dr Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Ekonom INDEF-Jakarta mengatakan, dengan metode estimasi yang digunakan Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki “surplus beras” sekitar 6 juta ton. Produksi padi sampai 1 Juli 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) (atau setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Konsumsi beras 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton, sehingga ”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton. Meski secara hitungan matematis dan ramalan Indonesia mengalami surplus beras namun disisi lain Badan Pusat Statistik mencatat sejak januari hingga Agustus 2011 Bulog sebagai badan stabilisator telah melakukan impor beras dengan jumlah impor beras yang masuk ke Indoensia mencapai 1,62 juta ton dengan nilai US$ 861,23 juta. Impor tertinggi pada periode Januari hingga Agustus 2011 berasal dari vietnam yang mencapai 905.930 ton atau 55,83%. Kebijakan ini menuai kritik dari beberapa kalangan termasuk sejumlah ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyebutkan bahwa kebijakan ini anomali, karena pemerintah dalam hal ini BULOG melakukan impor beras disaat terjadi panen raya (surplus beras).
Ketua Komisi IV DPR Rohmahurmuziy mengatakan terjadi ketidaksingkronan data produski dan konsumsi yang dimiliki masing-masing stakeholders pengambil keputusan dengan kebijakan perberasan nasional. Atas ketidaksingkronan kebijakan ini Ketua Komisi IV DPR Rohmahurmuziy, meminta untuk dilakukan audit.Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan pemeriksaan eksternal Pemerintah berdasarkan Peraturan BPK No. 1 tahun 1997 memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dimana jenis pemeriksaan yang dilakukan salahsatunya adalah Pemeriksaan Kinerja. Pemeriksaan kinerja dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan program yang dibiayai dengan keuangan negara, tingkat kepatuhannya terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta untuk mengetahui tingkat kehematan, efisiensi, dan efektivitas dari program tersebut.

1.2    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu :
1.        Untuk mengetahui Berbagai Aspek Yang Timbul Akibat Ketahanan Pangan.
2.        Untuk mengetahui Ketahanan Pangan Nasional
3.        Dan untuk memenuhi tugas softskill Perekonomian Indonesia.





BAB II
TINJAUAN LITERATUR

I.          Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 – 2009
Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan giziguna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari.
Melalui proses pemberdayaan, masyarakat ditingkatkan kapasitasnya agar semakin mampu meningkatkan produktivitas,produksi dan pendapatannya, baik melalui usahatani maupun usaha lainnya. Peningkatan pendapatan akan menambah kemampuan daya beli, sehingga menambah keleluasaan masyarakat untuk memilih pangan yang beragam untuk memenuhhi kebutuhan gizinya. Peningkatan produksikomoditas pangan oleh masyarakat, disamping meningkatkan ketersediaan pangan didaerah yang bersangkutan, yang selanjutnya merupakan kontribusi terhadap ketersediaan pangan nasional.
Arah kebijakan
Pada tataran nasional, inti persoalan dalam mewujudkan ketahanan pangan selama lima tahun terakhir terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk,pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, serta perkembangan selera. Dinamika sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan secara nasional meningkatkan dengan cepat, baik dalam jumlah, mutu, dan keragamannya. Sementara itu, kapasitas produksipangan nasional terkendala oleh adanya kompetisi pemanfaatan dan penurunan kualitas semberdaya alam.apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor pangan akan terus meningkat, dan ketergantungan terhadap pangan impor akan semakin tinggi. Ketergantungan impor pangan yang semakin tinggi menimbulkan kerentanan yang dapat berimplikasi negatif terhadap kedaulatan nasional.
Pada sisi lain, Indonesia mempunyai keunggulan komperatif (comperative advantage) sebagai negara agraris dan maritim. Keunggulan komparatif tersebut memerlukan fundamental perekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan ekonomi sehingga menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Memperhatiakan permasalahan dan potensi sebagaimana didiskusikan dimuka, maka pembangunan ketahanan pangan diarahkan guna mewujudkan kemandirian pangan, untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat nasional, daerah hingga rumahtangga, serta menjamin konsumsi pangan yang cukup,aman, bermutu, dan bergizi seimbang ditingkat rumah tangga sepanjang waktu; melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya local,teknolohi inovatifdan peluang pasar, peningkatan ekonomi kerakyatandan pengentasan kemiskinan.

Dengan arahan umum tersebut maka kebijakan pembangunan ketahanan pangan adalah sebagai berikut.
Pada sisi ketersediaan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: (a) Meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air. (b) Menjamin kelangsungan produksi pangan utamaanya dari produksi dalam negeri. (c) Mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. (d) Meningkatkan kapasitas produksi nasional dengan menetapkan laham abadi untukproduksi nasional dengan menetapkan lahan abadi untuk produksi pangan. 
Pada aspek distribusi, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: (a) Meningkatkan sarana dan prasarana distribusi pangan untuk meningkatkan efesiensi pedagangan, termasuk didalamnya mengurangi kerusakan bahan pangan oleh kerugian akibat distribusi yang tidak efisien. (b) Menurangi dan atau menghilangkan peraturan daerah yang menghambat sidtribusi pangan antar daerah. (c) Mengembangkan kelembagaan pengolahan dan pemasaran dipedesaan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas distribusi pangan serta mendorong peningkatan nilai tambah.
Dalam hal konsumsi, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: (a) Menjamin pemenuhan pangan bagi setiap rumah tangga salam jumlah dan mutu yang memadai, aman dikonsumsi dan bergizi seimbang. (b) Mendorong, mengembangkan dalam membangun serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan. (c) Mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan. (d) Meningkatkan efisien dan efektivitas kepada golongan masyarakat tertentu (golongan miskin, ibu hamil, balita gizi buruk, dan sebagainya).


Tujuan Pembangunan Ketahanan Pangan
            Pembangunan ketahanan pangan ditujukan untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat makro atau rumah tangga dan individu serta tingkat makro atau nasional, sebagai berikut:
1.         Mempertahankan ketersediaan energi perkapital minimal 2 200 kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari.
2.         Meningkatkan konsumsi memenuhi kecukupan energi minimal 2000 kilokalori/hari dan protein sebesar 52 gram/hari.
3.         Meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) minimal80 (padi-padian 275g, umbi-umbian 100 g, kacang-kacangan 35g, sayur dan buah 250 g).
4.         Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi masyarakat.
5.         Mengurangi jumlah atau persentase penduduk rawan pangan kronis (yang mengonsumsi kurang dari 80% AKG) dan penduduk miskin minimal 1 persen pertahun; termasuk didalamnya ibu hamil yang mengalami anemia gizi dan balita dengan gizi kurang.
6.         Meningkatkan kemandirian pangan melalui pencapaian swasembada beras berkelanjutan, swasembada jagung padatahun 2007, swasembada kedelai pada tahun 2015, swasembada gula pada tahun 2009 dan swasembada daging sapi padatahun 2010 serta membatasi impor pangan utama dibawah 10 persen dari kebutuhan pangan nasional.
7.         Meningkatkan rasio lahan per orang (land-man ratio) melalui penetapan lahan abadi beririgasiminimal 15 juta ha, dan lahan kering minimal 15 juta ha.
8.         Meningkatkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
9.         Meningkatkan jangkauan jaringan distribusi dan pemasaran pangan ke seluruh daerah.
10.     Meningkatkan kemampuan nasional dalam mengenali, mengantisipasidan menangani secara dini serta dalam melakukantanggap darurat terhadap masalah kerawanan pangan dan gizi.



Strategi Umum
Berdasarkan arah dan tujuan tersebut, strategi untukmewujudkan ketahanan pangan yang akan dilaksanakan adalah strategi jalur ganda (twin-track strategy), yaitu:
a.         Membangun ekonomi berbasis pendapatan
b.        Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pemberian bantuan langsung agar tidak semakin terpuruk, serta mampu mewujudkan ketahanan pangannya secara mandiri.
Kebijakan Umum
Adapun elemen-elemen penting dalam kebijakan umum ketahanan pangan adalah sebagai berikut:
1.      Menjamin Ketersediaan Pangan
a.         Pengembangan lahan abadi 15 juta ha beririgasi dan 15 juta ha lahan kering.
b.         Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan
c.         Pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai
d.        Pengembangan dan penyediaan benih, bibit unggul dan alsintan
e.         Pengaturan pasokan gas untuk produksi
f.          Pengembangan skim permodalan yang kondusif bagi petani dan nelayan
g.         Peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknologi budaya
h.         Peningkatan efisiensi penangan pasca panen dan pengelolahan
i.           Penyediaan insentif investasi di bidang pangan
j.           Penguatan penyuluhan, kelembagaan petani/nelayan dan kemitraan
2.      Menata Pertanahan dan tata ruang atau wilayah
a.         Pengembangan reforma agrarian
b.         Penyusunan tata ruang daerah dan wilayah
c.         Perbaikan administrasi pertanahan dan sertifikasi lahan
d.        Penerapan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian subur dan pembiaran lahan pertanian terlantar
3.      Pengembangan cadangan pangan
a.         Pengembangan cadangan pangan pemerintah
b.         Pengembangan lumbung pangan masyarakat
4.      Mengembangkan sistem distribusi pangan yang efesien
a.         Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana distribusi
b.         Penghapusan retribusi produk pertanian dan perikanan
c.         Pemberian subsidi transportasi bagi daerah sangat rawan dan daerah terpencil
d.        Pengawasan sistempersaingan perdagangan yang tidak sehat
5.      Menjaga stabilitas harga pangan
a.         Pemantauan harga pangan pokok secara berkala
b.         Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyangga untuk stabilisasi harga
6.      Meningkatkan aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan
a.         Pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan
b.         Peningkatan efektivitas program raskin
c.         Penguatan lembaga pengelola pangan di pedesaan
7.      Melaksanakan diversifikasi pangan
a.         Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dan gizi seimbang
b.         Pengembangan teknologi pangan
c.         Diversifikasi usahatani
8.      Meningkatkan mutu dan keamanan pangan
a.         Pengembangan danpenerapan sistem mutu pada proses produksi,olahan dan perdagangan pangan
b.         Peningkatan kesadaran mutu dan keamanan pangan pada konsumen
c.         Pencegahan dini dan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan mutu dan keamanan pangan
9.      Mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi
a.         Pengembangan isyarat dini dan penanggulangan keadaan rawan pangan dan gizi (SKPG)
b.         Peningkatan keluarga sadar gizi
c.         Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga
d.        Pemanfaatan cadangan pangan pemerintah untuk penanggulangan keadaan rawan pangan dan gizi
10.  Memfasilitasi penelitian dan pengembangan
a.         Alokasi anggaran yang memadai untuk penelitin pengembangan
b.         Peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga penelitian
11.  Meningkatkan peran serta masyarakat
12.  Melaksanakan kerjasama internasional
a.         Penggalangan kerjasama internasional dalam melawan kelaparan dan kemiskinan
b.         Perbaikan kinerja diplomasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya untuk meningkatkan ketahanan pangan
13.  Mengembangkan sumberdaya manusia
a.         Perbaikan program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan di bidang pangan
b.         Pemberian muatan pangan dan gizi pada pedidikan formal
c.         Pemberian jaminan pendidikan dasar dan menengah khususnya bagi perempuan dan anak-anak dipedesaan
14.  Kebijakan makro dan perdangan yang kondusif
a.         Kebijakan fiscal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian
b.         Alokasi APBN dan APBD yang memadai pertanian dan pangan
c.         Kebijakan perdagangan yang memberikan proteksi dan promosi bagi produk pertanian strategi

II.          Sistem Ketahanan Pangan Nasional : Kontribusi Ketersediaan dan Konsumsi Energi Serta Optimalisasi Distribusi Beras
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup, oleh karena itu kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak azasi yang harus dipenuhi (Ismet, 2007; Suryana, 2005). Sebagai kebutuhan dasar dan hak azasi manusia, pangan mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi suatu negara. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu yang pada akhirnya dapat membahayakan stabilitas nasional (Ismet,2007).
Salah satu syarat tercapainyan ketahanan pangan nasional adalah adanya ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan memenuhi persyaratan gizi bagi penduduk. Bahan pangan yang dapat diproduksi di dalam negeri diupayakan tetap menjadi pilar utama dalam penyediaan pangan nasional, karena hal tersebut berkaitan dengan perwujudan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Jumlah total rumah tangga di Jawa Timur sebanyak 8.679 rumah tangga dan sebagian besar berasa di desa. Dengan menggunakan klasifikasi silang dua indikator ketahanan pangan (pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan energi) maka pengukuran derajat ketahanan pangan rumah tangga dikelompokan menjadi empat katagori yaitu: (1) tahan pangan; (2) rentan pangan; (3) kurang pangan; dan (4) rawan pangan. Tahan pangan bila proporsi pengeluaran pangan rendah (< 60 persen pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi (> 80 persen dari syarat kecukupan energi), kurang pangan bila proporsi pengeluaran pangan rendah dan kurang mengkonsumsi energi (≤ 80 persen dari syarat kecukupan energi), rentan pangan bila proporsi pengeluaran pangan tinggi (≥ 60 persen pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi, rawan pangan bila proporsi pengeluaran pangan tinggi dan tingkat konsumsi energinya kurang (Jonsson dan Toole, 1991 dalam Maxwell et al., 2000).

III.          Penguatan Ketahanan Pangan Daerah Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional
Secara definisi, konsep ketahanan pangan telah jelas seperti telah disebutkan terdahulu. Namun dalam penjabarannya terdapat variasi dikarenakan konsep ketahanan pangan memang luas dan komplek menyatukan berbagai hal. Menurut Pribadi (2005) cakupan ketahanan pangan adalah: (1) Ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan, (2) Distribusi/aksesbilitas mencakup fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli), serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Terdapat empat elemen untukmencapai ketahanan pangan yaitu: (1) Tersediannya pangan yang cukup yang sebagaian besar berasal dari produksi sendiri; (2) Stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, tanpa pengaruh musim; (3) Akses atau keterjangkauan terhadap pangan yang dipengaruhi oleh akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, dan (4) Kualitas konsumsi pangan serta keamanan pangan.
Situasi ketahanan pangan secara nasional dari waktu ke waktu telah membaik. Sebagian besar produksi pangan mengalami peningkatan dan rasio impor pangan terhadap ketersediaan pangan dalam negeri juga relative kecil. Bahkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi dan protein sudah melebihi dari yang dianjurkan. Namun dengan memperhatikan permasalahan kurang gizi dan kualitas sumberdaya manusia muncul dimana-mana.
Munculnya kembali kasus gizi buruk yang pada awalnya terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur da Nusa Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi-provinsi lainnya menunjukkan bahwa masalah gizi di masyarakat. Gizi buruk atau dalam masyarakat sering disebut busung lapar adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda disebut marasmus dan kwashiorkor. Gizi buruk secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan kecerdasan anak, mengganggu pertumbuhan dan perkembangan serta menurunkan produktivitas, yang pada akhirnya menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Dari aspek penyebab, gizi buruk sangat terkait dengan kondisi daya beli keluarga, tingkat pendidikan dan pola asupan gizi keluarga seta keadaan kesehatan.

IV.          Liberalisasi Perdagangan : Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan manusia paling dasar yang pemenuhannya menjadi hak bagi setiap orang. Akan tetapi, meski memiliki hak atas pangan yang cukup pada kenyataannya masih banyak orang yang mengalami kelaparan dan kekurangan pangan. Polusi orang kelaparan dan kekurangan pangan terutama terkonsentrasi di wilayah-wilayah miskin di Asia Selatan dan SubSahara Afrika (FAO,2003). Menurut perkiraan FAO, satu dari tujuh penduduk dunia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan.
Menurut Chacholiades (1978) partisipasi dalam perdanganan internasional bersifat bebas (free) sehingga keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela. Dari sisi internal, keputusan suatu negara melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan (choice) oleh sebab itu sering dikatakan perdagangan seharusnya memberikan keuntungan pada kedua pihak (mutually benefited). Dalam sistem ekonomi tertutup (autarky) negara hanya dapat mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak yang diproduksi sendiri. Akan tetapi dengan melakukan perdagangan (open economic) suatu negara memiliki kesempatan mengkonsumsi lebih besar dari kemampuannya berproduksi karena terdapat perbedaan harga relative dalam prosesproduksi yang mendorong spesialisasi (Chacoliades, 1978; Chaves et al., 1993).
Sistem Perdagangan dunia yang bebas dan terbuka menghendaki dihilangkannya segala bentuk intervensi yang dapat mendistorsi pasar. Meskipun penolakan intervensi dilakukan dengan dalih untuk menciptakan suatu perdagangan yang “adil”, namun dalih seperti inilah yang seringkali membuat perdagangan justru menjadi tidak adil. Hal ini disebabkan masih terdapat perbedaan kemampuan menurunkan daya saing negara perlu perdagangan, khususnya bagi pelaku yang tergolong sebagai negara-negara kecil (small countries).

V.          Potensi dan Ketersediaan Sumber Daya Lahan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan
Perkembangan sector pertanian diperdesaan menghadapi berbagai tantangan dengan makin terbatasnya kepemilikan lahan petani oleh petani. Jumlah petani gurem meningkat dari 10,80 juta pada hasilantara ditingkat penelitian dan petani menariknya kegiatan pertanian penggunaan lahan antara sector pertanian dan nonpertanian (insfrastruktur, industry,perkotaan/pemukiman).
Untuk menghadapi berbagai kendala dan tantangan tersebut, pemerintah melalui Kementrian Pertanian pada tahun 2009-2014 mencanangkan 10program prioritas dengan lima targer sukses, yaitu: 1) Peningkatan produksi dan swasembada, 2) Ketahanan pangan dan gizi, 3) Nilai tambah, daya saing, dan gizi, 4) peningkatan kesejahteraan petani, dan 5) Adaptasi perubahan iklim dan lingkungan. Dari 10program prioritas tersebut, yang terkait langsung sumber daya lahan adalah 1) Audit lahan dan sertifikasi, 2) Percetakan 100ribu ha lahan sawah baru per tahun, 3) insfratruktur (jaringan irigasi tingkat usaha tani dan jaringan irigasi desa), dan 4) saranan produksi pertanian (pupuk anorganik dan pupuk organic) (Deptan 2009).
Walaupun swasembada beras telah diraih kembali pada tahun 2008, hal tersebut belum menjamin kemampanan dan keberlanjutan ketahanan pangan nasional jika bahan utama lainnya masih terjerat (food trap) atau bergantung pada impor. Oleh karena itu, selain mengantisipasi peningkatan kebutuhan beras akibat pertambahan penduduk, swasembada pangan lainnya juga dicanangkan, seperti jagung yang sudai dicapai pada tahun 2007, kedelai pada 2014, gula pada 2012, dan daging sapi pada 2014.selain itu,pengembangan bioenergi merupakan salahsatu keharusan dalam merespons perubahan iklim akibat pemanasan global, sekaligus untuk mengantisipasi kelangkaan bahan bakar minyak fosil dan menghemat devisa (Apriyantono 2009).
Tantagan utama yang akan dihadapi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan energi nasional antara lain adalah: 1) degradasi sumber dayaair, 2) penciutan dan konversi lahan subur, 3) cekaman variabilitas dan perubahan iklim, dan 4) keterbatasan sumber daya lahan potensial/subur. Strategi nasional untuk menghasilkan tantangan tersebut adalah: 1) menghindari kompetisi penyediaan pangan untuk ketahanan pangan dengan memprioritaskan penggunaan komoditas bioenergi nonpangan untuk bioenergi, dan 2) menhindari kompetisi penggunaan lahan untuk melalui pemanfaatan lahan bagi komoditas nonpangan (Las dan Mulyani 2009).

VI.          Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Swah Di Indonesia 1980 – 2001
Departemen Pertanian membuat komitmen yang dituangkan dalam rencana strategi pembangunan pertanian yaitu “Pangan merupakan kebutuhan nasional yang sedapat mungkin dipenuhi oleh produksi dalam negeri, karena kekurangan pangan dapat memicu kekacauan politik, sosial dan ekonomi, serta diyakini bahwa prinsip agribisnis dapat mensejahterakan petani.” Maka program yang sesuai dengan kebutuan petani dan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan oleh pemerintah sangat diperlukan untuk mewujudkannya. (Deptan dan Wahyuni et al., 2003)
Sector pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil sensus pertanian 1993 menunjukkan bahwa 78 persen rumah tangga memiliki sumber memanfaatkan lahan sawah sebagai sumber penghasilannya yang umumnya ditanami dengan tanaman pangan seperti padi dan palawijaya (Irawan et al., 2003).
Peran sector pertanian dalam penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari penurunan jumlah penduduk miskin masyarakat pedesaan. Selama periode 1976-1996 jumlah penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan yang samgat signifikan. Kalau pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 40,4 pesen, maka pada tahun 1996 turun menjadi 12,3 persen. Untuk ketahanan pangan selama kurun waktu 1970-2001 besarnya rata-rata rasio produksi domestik terhadap pemenuhan ketersediaan atau kebutuhan pangan nasional cukup baik hingga mencapai 99 persen (PSE, 2003).
Peningkatan produksi pertanian terutama untuk bahan makanan secara langsung memberikan kontribusi terhadap peningkatan ketahanan pangan nasional.banyak studi menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi pertanian merupakan cara yang paling efektif untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan dibandingkan sector ekonomi lainnya (Simatupang dan Dermorejo, 2003; Simatupang et al., 2004). Semakin tinggi pertumbuhan sector pertanian, semakin member dampak positif untuk meningkatkan pertumbuhan seluruh sector ekonomi (Simatupang et al., 2004).

VII.          Prospek Diversifikasi Usaha Rumah Tangga Dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan
Memantapkan ketahanan pangan (memerangi kelaparan dan rawan pangan) dan menurunkan angka kemiskinan atau jumlah penduduk merupakan agenda besar dalam kerangka pembangunan global (Millenium Development Goals). Dalam hal ini FAO (1999) menargetkan bahwa jumlah penduduk miskin dan rawan pangan diseluruh dunia diharapkan menurun sebesar 50 persen pada tahun 2015. Selain itu, untuk menanggulangi kemiskinan pemerintah membentuk suatu lembaga khusus yaitu Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berada dalam koordinasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Indonesia sebagai salah satu negara yangmemiliki komitmen untuk memantapkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan telah melakukan berbagai upaya mendukung tercapainya targer tersebut. Upaya yang dilakukan antara lain adalah dengan menetapkan pembangunan ketahanan pangan sebagai salah satu program utama pembangunan nasional.
Dalam kaitan ini, Departemen Pertanian te;ah menetapkan isu ketahanan pangan sebagai salah satu program utama dalam jangka lima tahun ke depan atau 2005-2009 (Departemen Pertanian, 2005). Jumlah penduduk miskin sebagian besar berada di pedesaan. Data BPS (2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin mencapai 37,3 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, sekitar 67 persen berada dipedesaan, dan sekitar 60 persen bekerja disektor pertanian. Data Sensus Pertanian di Indonesia terdapat 13,7juta (56,2 persen) petani pengguna lahan termasuk petani gurem (penguasaan lahan garapan kuran dari 0,5 hektar). Kajian pustaka yang dilakukan Rusastra et al. (2004) menyimpulkan bahwa beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya peningkatan pendapatan rumah tangga dengan dilakukannya diversifikasi usahatani yang mengikuti pola tanam introduksi. Berbeda dengan temuan tersebut, sturiyang dilakukan oleh Rachmat dan Hutabarat (1988) dipedesaan lahan sawah di Kabupaten Nganjuk dan Ngawi, Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan melakukan diversifikasi usaha tani melalui peraturan pola tanam dan pengiliran tanaman padi dan palawija (disbanding pola tanam padi-padi-padi) tidak menjamin petani didaerah tersebut dapat meningkatkan pendapatan.

VIII.          Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap Ketahanan Pangan
Isu ketahanan pangan menjadi topic penting karena pangan merupakan kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumberdaya manusia dan stabilitas sosial politik sebagai prasyaratan untuk melaksanakan pembangunan. Karena itu, pemerintah sangat berkepentingan terhadap masalah pangan, apalagi rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pangan masih diatas 60 persen. Meningat pentingnya peran pangan sehingga membutuhkan basis produksi local yang tangguh. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastic akanmenyebabkan besarnya fluktuasi harga ( Nicholson, 2000). Impor pangan tanpa penuh kehati-hatian dapat menggangu kesinambunganprodusen panga local. Apalagi harga produk pangan impor pada umumnya cenderung lebih murah akibat5 distorsi dengan berbagai banuan pemerintah negara eksporitir pangan ( Sawit, 2003 ).
Fenomena produksi, perdagangan dan konsumsi pangan diatas menuntut peran pemerintah agar produsen dan konsumen domestik dapat dilindungi.peran tersebut diharapkan mampu menstabilkan harga pangan yang dapat dilakukan melalui kebijakan harga pangan agar mengurangi ketidakpastian petani dan menjamin harga pangan menjadi lebih stabil bagi konsumen (Ellis, 1992). Pengalaman negara berkembang yang membuka pasar dan mengurangi bantuan terhadap penati sejak 1995 menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik, pembangunan pedesaan merosot,impor pangan meningkat pesat, dan mengancam ketahanan pangan, serta arus urbanisasi tidak bisa terkontrol sehingga menimbulkan persoalan baru diperkotaan (Sawit, 2003). Di sisi lain, negara-negara maju yang tergabung dalam OECD masih cukup besar member dukungan pada industry pertaniannya. Padhalisi kesepakatan pertanian WTO dimaksudkan agar bsemua anggota meningkatkan akses pasar, mengurangi bantuan domestik, dan mengurangi subsidi ekspor.

IX.          Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategi dalam pembangunan suatu negara, lebih-lebih negara yang sedang berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu salah satu sasaran utama pembangunan dan salah satu interumen utama (tujuan antara) pembangunan ekonomi (Sen, 1989; Simatupang, 1999). Peran pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk menjamin akses pangan bagi penduduk negara dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk eksistensi dan kualitas yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan yang “cukup” merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron 1988). Hal ini sudah diakui oleh Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Ketahanan Pangan No.7 tahun 1996. Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebgai syarat keharusan dalam membangun sumberdaya manusia yang kreatif dan produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan (Timmer, 1997).
Ketahanan pangan merupakan konsep dinamis yang pengertiannya terus mengalami penyesuaian melalui proses sintesis atas akumulasi peningkatan pengetahuan kontemporer dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan konteksual. Pemahaman konseptual merupakan landasan berfikir sistematis dalam merumuskan sistem ketahanan pangan, identifikasi elemen kunci (termasuk komponen kelembagaan) dan perumusan kebijakan pemerintah. Istilah ketahanan pangan (food security) sesungguhnya belum popular hingga awal tahun 1970-an. Ketahanan pangan diartikan secara agregat sebagai kemampuan suatu negara untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangannya. Derajat swasembada pangan merupakan indikator tunggal ketahanan pangan. Gagal panen global yang terjadi pada tahun 1972, dan memuncak pada krisis pangan global pada tahun 1974. Munculnya kesadaran baru bahwa ketahanan pangan merupakan isu global telah mendorong PBB (FAO) mengorganisir Konferensi Pangan Dunia (World Food Conference) pada tahun 1974.

X.          Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional
Perkembangan pembangunan dan pengelolaaninfrastruktur irigasi dari perspektif sejarah sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan nasioan dan politik ekonomi dalam suatu kawasan atau suatu negara. Walaupun pembangunan irigasi di Indonesia telah berlangsung ribuan tahun ada periode-periode tertentu yang perlu diperhatikan dalam pegelolaan infrastruktur irigasi untuk dapat dijadikan pelajaran pada masa yang akan datang. Ada empat periode yang perlu diperhatikan dengan masing-masingperiode mengandung cirri cirri tertentu. Keempat periode tersebut adalah periode prakolonial, kolonial, periode perang dingin, dan periodeglobalisasi (Barker and Molle, 2005).
Pada periode prakolonial pembangunan irigasi dilakukan oleh masyarakat tani sendiri. Pada umumnya pembagunan irigasi mengikuti pembangunan persawahan dan dalam periode ini salah satu cirri yang menonjol adalah terbangunnya capital sosial yang kuat dalam pengelolaan irigasi yang diwasirkan dan dikembangkan lebih lanjut dari satu generasi kegenerasi berikutnya. (Pasandaran, 2006). Pada peiode kolonial komitmen pemerintah dalam membangun irigasi mulai muncul yaitu kala terjadi kelaparan besar yang menyebabkan kematian sekitar dua ratus ribu orang akibatmusim kemarau yang terik dan panjang pada tahun 1848 di KabupatenDemak Jawa Tengah (Vlughter, 1949). Hal yang menonjol dalam periode perang dingin adalah munculnya teknologi revolusi hijau yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian internasional antara lain IRRI yang menghasilkan varitas-varitas padi unggul (Barker and Molle, 2005).
Disamping berupaya memperbaiki ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pribumi politik pembangunan irigasi juga memperhatikan upaya pembangunan komoditas ekspor pemerintah kolonial yang terkait dengan cutuur stelsel terutama tebu dan indigo yang memerlukan irigasi. Ada beberapa pelajaran yang diperoleh dalam upaya menghasilkan berbagai produkkebijakan yang terkait dengan pembangunan irigasi. Pertama, perlunyaupaya rintisan atau ujicoba untuk pembangunan irigasi dalam skala besar yang dilakukan pada paroh kedua abad 19. Kedua, perlunya evaluasi “expost” terhadap proses yang sedang berjalan dan bila ujicoba tersebut berhasil maka formalisasi kebijakan dilakukan dan pada fase kedua dilanjutkan dengan perluasan investasi. Ketiga, sejalan perluasan investasi irigasi, perlu dilakukan upaya merintis pembangunan kelembagaan pengelolaan irigasi yang telah dimulai pelaksanaannya sebelum kebijakan irigasi diumumkan dan pada fase ketiga dianggap sebagai pemantapan, baik pembangunan prasarana fisik maupun kelembagaan.
Dengan semakin meluasnya irigasi yang dibangun pemerintah baik pemerintah kolonial maupun pemerintah Republik Indonesia dijumpai dikotomi kerangka pengelolaan irigasi yaitu kerangka pengelolaan yang berbasis masyarakat tani dan yang berbasis pemerintah. Paling tidak ada empat fase perkembangan yang perlu dicermati sebagai akibat hubungan saling mempengaruhi antara kekuatan-kekuatan yang menentukan eksistensi kedua kerangka pengelolaan tersebut (Pasandaran, 2003).

XI.          Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam Memantapkan Ketahanan Pangan Masyarakat Perdesaan
Saat ini Indonesia sedang menghadapi suatu permasalahan yang cukup serius yaitu kerawanan pangan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras sebagai bahan makanan pokok yang sangat tinggi, hal ini ditunjukkan oleh data susenas (1990, 1993, 996, 1999), yang menyebutkan tingkat konsumsi beras diberbagai wilayah di Indonesia yang rata-rata mencapai 100 persen (kecuali Maluku dan Papua). Tingkat ketergantungan yang sangat tinggi, namun tidak diimbangi oleh kemampuan produksi dalam negeri inilah yang menimbulkan kekhawatiran terhadap kerawanan pangan. Dengan pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan kini telah mencapai 220 juta jiwa, maka dikhawatirkan produksi akan beras tidak akan mampu memenuhi permintaan dari konsumen. Hal inimemaksa konsekuensi semakin bergantungan masyarakat akan konsumsi beras berarti kita tidak dapat melepaskan diri dari impor beras secara terus-menerus. Kebijakan pemerintah cenderung memprioritaskan ketersediaan pangan terutama beras. Hal ini menyebabkan ketergantungan  terhadap beras semakin tinggi dan menguntungkan terhadap pangan, terutama yang terkai dengan stabilitas kecukupan pangan.

XII.          Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras Dibeberapa Wilayah Indonesia
Beras merupakan komoditas yang penting karena merupakan kebutuhan pangan pokok yang setiap saat harus dapat dipenuhi. Kebutuhan pangan pokok perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, sasaran utama pembangunan pertanian adalah memantapkan neraca ketersediaan beras. Hasil analisi sitem dinamis menunjukkan bahwa pada tahun 2015 akan terjadi defisit ketersediaan beras nasional sebanyak 7,15 juta ton per tahun (Nurmalina, 2007). Untuk mencapai sistem ketersediaan beras yang berkelanjutan, perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang dapat memberikan pemecahan masalah terhadap kekurangan penyediaan beras. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (Brundtland Report, 1987 dalam Mitchell et al., 2000 dan Gallopin, 2003). Intinya dari konsep ini adalah bahwa tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait dalam proses pembangunan.bila tidak akan terjadi “trade off” antar tujuan (Munasinghe, 993). Dalam pendekatan yang dipakai menilai pembangunan yang berkelanjutan berkembang tidak hanya dilihat dari tiga dimensi (ekonomi, ekologi, dan sosial budaya). Etkin (1992)dalam Gallopin (2003) mengukur pembangunan berkelanjutan melalui keberlanjutan ekologo, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, politik, dan keamanan. Nilai indeks keberlanjutan antarwilayah di Indonesia sangat beragam berkisar 33,37 – 67,23. Wilayah Jawa dan Sumatera termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah lainnya termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bajwa keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda antarwilayah.

XIII.          Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk dan Biaya Penanggulangannya Pada Balita Di Berbagai Provinsi Di Indonesia
Saat ini, lebih dari 100 juta atau sekitar 50% dari seluruhpenduduk Indonesia menderita berbagai bentuk masalah gizi yang meliputi IDD (lodine Deficiency Dissorder), stunted, underweight, CVD (Cardiovasculer Diseade) serta IDA (Iron Deficeincy Anemia) (Soekirman et al., 2003). Menurut Atmarita dan Falah (2004), berdasarkan hasil survai yang dilakukan pada tahun 2003, sebanyak 2-4 orang dari 10 balita menderita gizi kurang di 72% kabupaten Indonesia. Selain itu, Soekirman et al. (2003) menyebutkan bahwa prevalensi KEP pada balita dan anak-anak pra sekolah meski mengalami penurunan sekita 10% dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 27.5% pada tahun 2003 namun jumlah penurunan tadi sesungguhnya tidak nyata karena diketahui bahwa prevalensi gizi buruk(< -3SD, BB/U) mengalami peningkatan dari 6.3% pada tahun 1989 menjadi 10.5% pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwamasalah gizimakro, khususnya yang terjadi pada balita adalah masalah serius yang harus segera ditanggulangi.
Dampak dari permasalahan gizi buruk sangat kompleks. Gizi buruk berdampak pada kematian anak, penyakit anak, gangguan pertumbuhan fisik, penurunan kemampuan belajar, penurunan kemampuan kognitif, anggaran pencegahan dan perawatan yang meningkat sampai pada penurunan produktivitas kerja yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya kerugian ekonomi pada wilayah tersebut. Persoalan gizi buruk bukan hanya masalah gizi dan kesehatan, tetapi juga berdampak ekonomi. Konig (1995) dalam Jalan dan Atmojo (1998) mengansumsikan bahwa orang-orang yang memiliki riwayat gizi buruk pada saat balita akan mengalami penurunan produktivitas hingga 100%.

XIV.          Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Air Untuk Menunjang Ketahanan Pangan
Kekurangan pangan sangat berpengaruh terhadap gizi buruk, kesehatan, sekaligus menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Dampak serius ini yang ditimbulkan apabila terjadi krisis pangan adalah terganggunya stabilitas sosial politik, ekonomi, dan keamanan. Oleh karena itu, persediaan pangan tidak boleh kurang, dengan kata lain ketahanan pangan harus stabil dan tetap terjaga secara berkelanjutan. Untuk menunjang ketahanan pangan yang berhubungan dengan aspek ketersediaan pangan, maka kelangsungan proses produksi pangan, membutuhkan ketersediaan lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai (Santosa, 2008).
Ditinjau dari sumberdaya lahan sawah, belakangan banyak lahan sawah produktif yang sudah beralih fungsi menjadi perumahan, industry, pariwisata, maupun untuk tujuan yang lain. Di sisi lain percetakan sawah baru untuk mengganti lahan sawah yang hilang memerlukan biaya yang tinggi dan waktu yang lama karena kendala terbatasnya infrastruktur penunjang seperti jalan penghubung, prasarana irigasi dan transportasi. Secara nasional, terjadi penurunan luas sawah sebesar 10.000 hasetiap tahundalam dua deka deterakhir (Suganda, 2008). Luas sawah di Bali pada tahun 2007 adalah sekitar 80.997 ha (14,38%) dan selebihnya 85,16% berupa lahan kering (BPS Bali,2007). Selanjutnya, konversi lahan sawah di Bali adalah sebesar 6,45% selama kurun waktu 10 tahun terakhir (Raid an Menaka Adnyana, 2009). Seiring dengan situasi tersebut, keadaan sekarang dan dimasa mendatang ketersediaan sumberdaya air juga semakin berkurang, namun kebutuhan di berbagai sector semakin meningkat. Oelh karena itu, tantangan sistem produksi padi ke depan adalah mampu menghemat pemakaian air irigasi (Zhang et al., 2009). Selain faktor teknologi, makan yang tidak kalah penting menjamin keberlanjutan sistem produksi padi adalah adanya regulasi atau kebijakan yang dapat mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah (Pasandaran, 2006).




BAB III
PEMBAHASAN

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan di masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya. Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan sebagai: kondisi terpenuhinya pangan nagi setiap rumah tangga, yang mencerminkan dari tersedianya pangan yang cukup,baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif.
Pada tingkat nasional, ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman, dan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar keseluruhan rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem komunikasi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan, dan kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjujjan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90 persen dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi < 70 persen dari rekomendasi) masih cukup besar,yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003).
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No.7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhii untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1.      Kecukupan ketersediaan pangan
2.      Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musin ke musim atau dari tahun ke tahun.
3.      Aksesibilitas atau keterjangkauan terhadap pangan serta,
4.      Kualitas atau keamanan pangan
Menurut Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad millennium ini. Apabila melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertempu pada sumber daya pangan local yang mengandung keragaman antar daerah.
Sejak tahun 1978 ketika Thomas Malthus member peringatan bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponesial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkatkan secara aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan nasional yang sangat parah diberbagai Negara. Permasalahan diatas adalah ciri sebuah Negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008).
Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sector-sektor lainnya. Hal ini dipandang strategis karena tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangan. Di Indonesia, sektor pangan merupakan sektor penentu tinglat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk yang berkerja on-farm untuk yang berada di daerah pedesaan untuk didaerah perkotaan, masih banyak juga penduduk yang menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi. Memperhatikan hal tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional. Salah satu langkah strategis untuk memelihara ketahanan nasional adalah melalui upaya mewujudkan kemandirian pangan. Seecara konsepsional, kemandirian adalah suatu kondisi tidak terdapat ketergantungan pada siapapun dan tidak ada satu pihakpun yang dapat mendikte atau memerintah dalam hal yang berkaitan dengan pangan.
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal  inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani. Kesejahteraan petani pangan yang relative dan manurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan nasional. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah:
1.      Sebagaian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor because they are poor), dalam hal ini keterbatasan sumberdaya manusia yang ada (rendahnya kualitas pendidikan yang dimilikipetani pada umumnya) menjadi masalah yang cukup rumit, disisi lain kemiskinan yang struktural menjadikan aksespetani terhadap pendidikan sangat minim.
2.      Luas lahan petanisempit dan mendapatkan tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar,jika dilihat dari sisi produksi tetu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat di gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.
3.      Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan, ketersediaan modal perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah pada umumnya permasalahan yang paling mendasar yang dialami oleh petani adalah keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk atau benih.
4.      Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik. Petani di Indonesia kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya sebagian kecil saja yang sudah menggunakan teknologi canggih. Tentu saja dari hasil produksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.
5.      Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai. Pertanian di Indonesia mayoritas masih berada di wilayah pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan sarana dan prasarana penunjang seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus dan telekomunikasi sangat terbatas.
6.      Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi tawar petani (bargaining position) yang sangat lemah.
7.      Ketidakmampuan, kelemahan, atau ketidaktahuan petani sendiri.

Tanpa penyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka disinilah peranan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai perhatian utama demi terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat terwujud dengan baik jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah tangga), jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik maka ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat terwujud. Dapat kita lihat sampai sekarang ini program pemerintah dalam kaitanya dengan pembangunan ketahanan pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, pembangunan ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja pemenuhan pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk mengatasi hal itu semua ada berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan kemandirian masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :
Pertama, pemberdayaan dalam pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti. Teknologi yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan.Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti.  Teknologi tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian. Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan usahatani dan kesejahteraan petani.
Kedua, penyediaan fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pengadaan sarana produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain. Dengan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul kegairahan dalam mengembangkan usahatani.
Ketiga, Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis. Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen dilakukan sekarang adalah pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu diperlukan upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik lumbung, tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak perekonomian di pedesaan. Pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti diuraikan diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.




BAB IV
KESIMPULAN

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan di masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya.
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup, oleh karena itu kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak asasi yang harus dipenuhi. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi negara.
Saat ini Indonesia sedang menghadapi suatu masalah yang serius yaitu kerawanan pangan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan masyarakat Indonesia akan konsumsi beras sebagai bahan makanan pokok tinggi. Tingkat ketergantungan yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri inilah yang menimbulkan kekhawatiran akan kerawanan pangan.
Jika terjadi kerawanan pangan, akan menimbulkan masalah pada gizi buruk, kesehatan, dan terutama sumber daya manusia. Dampak serius lainnya yang ditimbulkan yaitu terganggunya stabilitas sosial politik, ekonomi,dan keamanan. Oleh karena itu, persediaan pangan tidak boleh kurang, dengan kata lain ketahanan pangan harus stabil dan tetap terjaga secara berkelanjutan.
FAO (1999) menargetkan bahwa jumlah penduduk miskin dan rawan pangan diseluruh dunia diharapkan menurun sebesar 50% pada tahun 2015. Upaya yang dilakukan yaitu menetapkan pembangunan ketahanan pangan dan sebagai salah satu program utama pembangunan nasional. Selain itu, untuk menanggulangi kemiskinan pemerintah membentuk suatu lembaga khusus yaitu Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berada dalam koordinasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas.





BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Nuhfil Hanani, 2008. “Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam Memantapkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan”,Universitas Brawijaya.

I Gusti Ngurah Santosa, 2010. “Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Air Untuk Menunjang Ketahanan Pangan”,Universitas Udayana.

“KEBIJAKAN UMUM KETAHANAN PANGAN” 2006 – 2009

Muhammad Aries, 2006. “ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT STATUS GIZI BURUK DAN BIAYA PENANGGULANGANNYA PADA BALITA DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA”

Effendi Pasandaran, 2007. “PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR IRIGASI
DALAM KERANGKA KETAHANAN PANGAN NASIONAL”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Gatoet S. Hardono, “Liberalisasi Perdagangan: Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan”,Pusat Penilitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Handewi P.S. Rachman, “Prospek Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Keniskinan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pantjar Simatupang, “ANALISIS KRITIS TERHADAP PARADIGMA DAN KERANGKA DASAR KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Nyak Ilham, “Efektifitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap Ketahanan Pangan” .Universitas IPB

Rita Nurmallina, “Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras dibeberapa Wilayah Indonesia”, Universitas IPB

Anny Mulyani, S. Ritung, 2011, “POTENSI DAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA
LAHAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN”, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian